SCAMMER GIRL
Cinta adalah alat. Uang adalah tujuan. Dosa? Urusan nanti.
Namaku Laras Ayuningtyas. Tapi di layar ponsel orang-orang, aku bisa jadi siapa saja.
Kadang Nadia, perempuan mandiri yang baru putus dari pacar toksik.
Kadang Sinta, ibu tunggal yang kehilangan suami dan sedang butuh modal usaha.
Kadang juga Mira, perempuan muda yang penuh empati, suka baca puisi, dan pandai menulis kalimat manis di tengah malam.
Mereka semua adalah aku — atau tepatnya, pecahan dari diriku yang kutempa di tengah kebohongan.
Karena di dunia ini, kebenaran tidak menjamin kelangsungan hidup.
Uang, iya.
Dan cinta?
Cinta hanyalah alat untuk membuka pintu rekening orang-orang kesepian.
**
Aku masih ingat malam pertama ketika semuanya dimulai.
Kamar kosku gelap, sempit, dan penuh cicilan. Laptop tua di meja berderit tiap kali aku menekan tombolnya, seperti menjerit bersama nasibku.
Di luar, Jakarta tak pernah tidur. Tapi di dalam kamar itu, aku merasa seperti sedang dikubur hidup-hidup oleh waktu dan tagihan.
Pekerjaanku di kafe sudah berhenti karena pandemi.
Ibuku di kampung sakit, dan aku tak punya siapa pun untuk dimintai tolong.
Hidup kadang menjebak orang baik untuk jadi jahat.
Malam itu, aku mengetik kalimat yang akan mengubah segalanya:
“Hai, kamu masih bangun? Aku cuma butuh seseorang untuk diajak bicara malam ini.”
Pesan itu kukirim ke seorang pria asing di forum Facebook.
Lalu, entah kenapa, ia membalas.
**
Namanya Dimas. Umurnya tiga puluh lima. Katanya, duda.
Sopan, ramah, dan agak kesepian.
Dalam tiga hari kami bertukar cerita. Dalam tujuh hari, ia memanggilku sayang. Dalam dua minggu, aku jadi seseorang yang katanya “mengisi kekosongan hidupnya.”
Dan di hari ke-21, ia mentransfer dua juta rupiah “untuk bantu bayar sewa kos.”
Aku menangis waktu itu. Tapi bukan karena terharu.
Aku menangis karena sadar — dunia ini memang cuma permainan cepat antara siapa yang tega dan siapa yang terlalu percaya.
Aku memilih jadi yang pertama.
**
Tapi jangan pikir aku menikmatinya.
Setiap kali uang itu masuk, aku merasa sebagian dari diriku mati.
Namun setiap kali kulihat wajah ibu di video call, pucat dan kurus karena obatnya belum terbeli, aku tahu: moral adalah kemewahan yang tak bisa kumiliki sekarang.
Satu akun menjadi dua. Dua jadi lima. Lima jadi tujuh belas.
Aku belajar dari pola. Dari jam online mereka, dari nada bicara, dari cara mereka mengetik pesan panjang.
Aku mencatat semua.
Aku hafal kapan seseorang mulai jatuh cinta — biasanya setelah mereka menulis kalimat seperti, “Aku jarang sejujur ini sama orang lain.”
Saat itu terjadi, aku tahu: mereka sudah masuk perangkap.
**
Aku tak pernah menipu orang miskin. Aku memilih target yang punya simpanan, tapi kesepian.
Pengusaha kecil, pejabat pensiunan, dosen kampus, pria-pria yang merasa hidup mereka hampa dan butuh pendengar.
Aku bukan pencuri. Aku penulis naskah hati — dan mereka semua hanya tokoh dalam ceritaku.
Setiap malam aku mengetik seperti aktor yang sedang berakting di teater digital.
Senyum di layar adalah topeng, air mata adalah strategi.
Sampai suatu hari, seseorang muncul dan membuatku lupa bahwa semua ini hanyalah permainan.
Namanya Reno.
**
Reno tidak seperti yang lain.
Dia tidak langsung jatuh cinta. Dia curiga.
Dia menelusuri setiap kata yang kutulis, seolah sedang membaca sandi rahasia.
Ia bilang, “Kamu terlalu sempurna untuk nyata.”
Aku tertawa di layar, tapi di dadaku ada rasa aneh.
Untuk pertama kalinya, aku ingin seseorang mengenalku tanpa topeng.
Aku ingin berkata: “Ya, aku Laras. Aku pembohong. Tapi aku capek berbohong.”
Namun kata-kata itu tak pernah terkirim.
Karena begitu aku jujur, segalanya akan berakhir.
Dan aku tak siap kehilangan satu-satunya orang yang membuatku merasa hidup lagi.
**
Reno mulai mencari tahu siapa aku sebenarnya.
Ia mengirim pesan suara, tapi aku selalu pura-pura sibuk.
Ia mengajakku video call, tapi aku berdalih koneksi buruk.
Sampai suatu malam, ia mengirim pesan singkat:
“Aku tahu kamu bukan Sinta. Tapi aku ingin tahu siapa Laras di balik nama itu.”
Aku gemetar.
Tanganku menahan keyboard, tapi air mata tak bisa kutahan.
Semua kebohongan yang kubangun selama berbulan-bulan runtuh di satu kalimat itu.
Aku mematikan laptop, menatap bayangan diriku di cermin, dan bertanya:
“Siapa sebenarnya aku?”
**
Hari-hari berikutnya seperti kabut.
Aku berhenti menipu. Akun-akun palsuku kusimpan di folder yang terkunci.
Tapi setiap kali notifikasi bunyi, aku merasa jantungku ikut bergetar — bukan karena ketakutan, tapi karena rindu.
Reno tak menghubungiku lagi.
Tiga minggu tanpa kabar, dan tiba-tiba satu pagi ada paket datang ke kos:
Sebuah amplop coklat berisi uang tunai, dan secarik kertas bertuliskan:
“Aku tahu kamu butuh uang. Tapi kamu juga butuh kesempatan. Ini bukan bayaran. Ini permintaan: berhenti menyakiti dirimu dengan kebohongan.”
—Reno.
Aku tak bisa berhenti menangis.
Untuk pertama kalinya, seseorang memberiku uang tanpa aku harus berpura-pura mencintainya.
**
Malam itu aku menulis surat panjang.
Bukan untuk dikirim, tapi untuk mengaku pada diri sendiri.
Tentang ayah yang pergi saat aku tujuh tahun. Tentang ibu yang menjahit hingga larut untuk bayar sekolahku. Tentang dunia yang tak pernah memberi ruang bagi orang miskin untuk salah.
Aku menulis, “Aku tidak jahat, aku hanya kelelahan.”
Dan di kalimat itu, aku menemukan sesuatu yang aneh: kelegaan.
**
Tapi hidup tak semudah itu berhenti.
Beberapa minggu kemudian, salah satu korban lamaku melapor ke polisi.
Nama samaran yang kupakai terdeteksi lewat transfer digital.
Dan malam itu, suara ketukan keras di pintu kos membuat semua ketenangan buyar.
Aku ditangkap.
Dunia maya yang dulu jadi panggungku berubah jadi penjara nyata.
Di ruang interogasi, aku duduk di kursi besi sambil menatap wajah seorang polisi muda yang mungkin seumuranku.
Ia membuka berkas, menatapku, dan bertanya datar:
“Kenapa kamu melakukan ini, Laras?”
Aku tak menjawab.
Apa gunanya menjelaskan tentang luka pada orang yang hanya tahu pasal dan hukuman?
Akhirnya, aku hanya berkata pelan:
“Cinta adalah alat. Uang adalah tujuan. Dosa? Urusan nanti.”
Polisi itu menghela napas panjang.
“Dan sekarang, urusan ‘nanti’-mu sudah tiba,” katanya.
**
Tiga bulan di tahanan perempuan membuatku belajar hal-hal yang tak diajarkan siapa pun.
Bahwa orang jahat tak selalu lahir jahat.
Bahwa kejahatan kadang hanya bentuk lain dari keputusasaan.
Aku melihat perempuan-perempuan lain di sel:
ada yang mencuri susu bayi, ada yang menipu lewat arisan, ada yang membunuh karena bertahan dari suami.
Dan di tengah mereka, aku merasa seperti bercermin.
Semua orang di sini sama — terjebak antara kebutuhan dan dosa.
**
Suatu sore, seorang petugas datang membawa kabar: ada seseorang yang ingin menjaminkan uang untuk penangguhanku.
Namanya: Reno.
Aku hampir tak percaya.
Ia datang mengenakan kemeja putih, wajahnya teduh seperti pertama kali aku mengenalnya di layar.
Kami duduk berhadapan, dipisah kaca tebal.
“Kenapa kamu datang?” tanyaku dengan suara serak.
Reno tersenyum tipis. “Karena aku masih percaya, di balik semua kebohonganmu, ada seseorang yang sedang berjuang.”
Aku menunduk, menahan tangis.
Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar dilihat — bukan sebagai penipu, tapi sebagai manusia yang tersesat.
**
Setelah keluar, aku tak kembali ke dunia digital itu lagi.
Aku bekerja di sebuah lembaga yang membantu korban penipuan online. Ironis, ya?
Dulu aku pelaku, sekarang aku pendengar.
Aku menulis testimoni, memberi edukasi, dan kadang bercerita tentang seorang “perempuan” yang hampir kehilangan dirinya karena terlalu lama bersembunyi di balik nama palsu.
Mereka tak tahu bahwa perempuan itu adalah aku.
Kadang, saat malam tiba dan layar laptop menyala, aku masih tergoda mengetik pesan seperti dulu.
Tapi setiap kali jariku mendekati tombol “kirim”, aku teringat wajah Reno — dan semua orang yang pernah kupermainkan.
Lalu aku berhenti.
Karena kini aku tahu:
Kebohongan bisa memberi uang, tapi kebenaran memberi hidup.
**
Namun aku tidak menyesal pernah jadi “Scammer Girl”.
Tanpa masa gelap itu, aku takkan tahu seberapa berharganya cahaya.
Aku takkan tahu arti cinta yang tak butuh imbalan.
Aku takkan tahu bahwa uang bisa habis, tapi rasa bersalah bisa menetap selamanya.
Kini, setiap kali aku menatap cermin, aku melihat dua sosok di sana:
Laras yang dulu — dingin, manipulatif, haus uang — dan Laras yang kini, yang mencoba memperbaiki apa yang sudah hancur.
Aku tersenyum pada bayangan itu.
“Terima kasih sudah bertahan,” bisikku pelan.
Di luar jendela, langit Jakarta mulai berubah jingga.
Aku menutup laptop, menyalakan lilin kecil, dan menulis satu kalimat terakhir di buku catatan baruku:
“Cinta bukan alat. Uang bukan tujuan. Dosa adalah cermin, dan aku sudah menatapnya cukup lama untuk belajar memaafkan diri sendiri.”
🕯️
“Scammer Girl” bukan sekadar kisah tentang penipuan.
Ini kisah tentang kehilangan arah, tentang perempuan yang berjuang keluar dari kebohongan yang ia ciptakan sendiri, dan tentang cinta — bukan yang manis, tapi yang menyembuhkan.
Hadi Hartono
Juara 3 Kompetisi Literasi Indonesia 10 – KBM.ID
#ScammerGirl — Cinta adalah Alat, Uang adalah Tujuan, Dosa Urusan Nanti.
SCAMMER GIRL, Cinta Adalah Alat, Uang adalah Tujuan - Hadi Hartono
Cinta adalah alat. Uang adalah tujuan. Dosa? Urusan nanti.
Laras bukan gadis biasa—ia cantik, cerda...
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/2490ddf9-eb00-42ba-8852-f0c42f1dc4ed?af=9b1ed3a8-e292-4cad-8a0a-f5aa618ccfd5
