Celah Hukum di Balik Korupsi Raksasa BUMN: Petinggi Tak Masuk Kategori Penyelenggara Negara
Jakarta, Naonsia.com — Munculnya aturan yang menyatakan petinggi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukanlah penyelenggara negara kembali menjadi sorotan publik, menyusul terbongkarnya kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan jajaran BUMN. Padahal, sejumlah kasus tersebut telah menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.
Kasus seperti Jiwasraya, Asabri, hingga yang terbaru—dugaan korupsi dalam pengelolaan tambang timah di Bangka Belitung—menjadi contoh nyata bagaimana uang negara dapat disalahgunakan oleh orang-orang di dalam BUMN, namun upaya penegakan hukum sering kali terbentur aturan kewenangan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, lembaga antirasuah itu hanya dapat menangani kasus korupsi jika menyangkut penyelenggara negara atau menimbulkan kerugian keuangan negara minimal sebesar Rp1 miliar.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat: apakah pejabat tinggi BUMN, seperti direktur utama atau komisaris, seharusnya disamakan dengan penyelenggara negara, mengingat mereka mengelola dana publik?
“Kalau BUMN-nya milik negara dan dananya dari negara, maka para petingginya secara moral dan logika adalah penyelenggara negara. Hanya saja secara hukum, belum,” kata Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Jumat (24/5).
Keterbatasan kewenangan ini diakui langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan, meski lembaganya tidak bisa langsung menyentuh petinggi BUMN yang bukan penyelenggara negara, namun tetap bisa melakukan penyelidikan jika ditemukan kerugian negara dalam jumlah besar.
“Kami tetap bisa menangani jika terdapat kerugian negara yang jelas dan nyata, setidaknya senilai Rp1 miliar,” ujar Ghufron.
Namun, sejumlah pengamat menilai bahwa pendekatan ini tidak cukup. Mereka khawatir banyak kasus besar di BUMN justru lolos dari jerat hukum karena pelakunya tidak termasuk kategori yang dapat ditindak KPK.
“Ini seperti membiarkan lubang menganga di tengah jalan, lalu berharap tidak ada yang jatuh ke dalamnya,” ujar Tri Wahyuni, aktivis antikorupsi.
Sejumlah kasus besar di lingkungan BUMN telah menjadi perhatian luas karena nilai kerugiannya yang fantastis:
- Kasus Jiwasraya: Rp16,8 triliun
- Kasus Asabri: Rp22,7 triliun
- Kasus Timah: diperkirakan mencapai Rp271 triliun
Publik kini menanti langkah konkret dari pemerintah dan DPR untuk mengkaji ulang regulasi yang mengatur posisi hukum petinggi BUMN. Banyak yang berharap agar celah hukum ini segera ditutup, demi memastikan bahwa tidak ada lagi kekebalan hukum terselubung bagi elite korporasi negara.