LAUNCHING NOVEL SEJARAH “TIGA PENJAGA BENTENG” KARYA HADI HARTONO: MENGHIDUPKAN KEMBALI JEJAK PARA ARYA DI TANGERANG
Tangerang, Naonsia.com — Dalam upaya mengangkat kembali sejarah lokal Banten yang kerap dilupakan, penulis dan peneliti budaya Hadi Hartono resmi meluncurkan novel terbarunya yang berjudul “Tiga Penjaga Benteng”. Buku ini mengisahkan tiga tokoh spiritual dan pemimpin masyarakat abad ke-17: Arya Wangsakara, Arya Jaya Santika, dan Arya Maulana Yudhanegara—yang dipercaya sebagai pendiri dan penjaga awal wilayah perbatasan timur Kesultanan Banten, kawasan yang kini dikenal sebagai Tangerang.
Peluncuran novel ini dilakukan secara daring melalui situs resmi penerbit independen J-Maestro Indonesia, sekaligus disambut antusias oleh komunitas literasi dan sejarah lokal. Dengan pendekatan fiksi historis berbasis arsip kolonial, babad, dan cerita lisan masyarakat, buku ini mencoba menjembatani sejarah dengan gaya tutur yang segar dan mudah dicerna, terutama oleh generasi muda.
“Ini bukan sekadar cerita masa lalu. Ini soal akar identitas, spiritualitas, dan perjuangan lokal yang punya resonansi kuat di zaman sekarang,” ujar Hadi Hartono dalam peluncuran virtual yang digelar Sabtu malam (27/07).
Menghidupkan Kembali Sejarah Rakyat
Novel ini menggambarkan perjuangan ketiga Arya dalam membuka dan menjaga wilayah seperti Lengkong, Jayanti, Cikupa, Balaraja, dan Kronjo dari ancaman ekspansi VOC (Belanda). Mereka mendirikan kampung, membentuk pesantren, dan membangun struktur sosial berbasis kemandirian rakyat dan nilai keagamaan.
Alih-alih menggunakan pendekatan sejarah kaku, Tiga Penjaga Benteng tampil dengan narasi yang emosional dan epik, layaknya film sejarah. Banyak pembaca menyebut buku ini sebagai "Narcos meets Tanah Jawa", di mana strategi perang, intrik politik, dan perjuangan spiritual bersatu dalam satu cerita.
Bukan Buku Sejarah Biasa
Dalam 45 bab yang tersusun sistematis, novel ini tidak hanya menyuguhkan catatan peristiwa, tetapi juga menggali karakter, perasaan, serta konflik batin para tokohnya. Kisah ini dibuka dari keruntuhan Sumedang Larang, migrasi para Arya ke Banten, hingga puncak pertempuran melawan VOC di Sungai Cisadane dan Cikokol.
“Kita butuh sejarah yang hidup. Bukan yang hanya ada di ruang kelas. Buku ini hadir sebagai jembatan antara literasi dan akar budaya,” komentar Yustika Ramadhan, pegiat literasi dari komunitas Ziarah Literasi.
Respons Gen Z dan Komunitas Sejarah
Yang menarik, novel ini juga dikemas dalam versi resensi ala Gen Z, dengan gaya bahasa kasual dan penuh meme sejarah. Resensi viral bertajuk "Tiga Arya: Avengers Tanpa CGI" telah dibagikan lebih dari 10.000 kali di media sosial dalam seminggu terakhir, dan mendorong diskusi di forum-forum sejarah serta grup WhatsApp guru SMA di Banten dan Jakarta.
"Gue baru tahu ada sejarah Tangerang sekeren ini. Selama ini mikirnya cuma pabrik doang," tulis salah satu komentar netizen di Instagram.
🛒 Beli Novel “Tiga Penjaga Benteng” di Sini
📚 Link pembelian resmi:
👉 https://j-maestro.my.id/product/tiga-penjaga-benteng-hadi-hartono
Hashtag
#TigaPenjagaBenteng
#AryaWangsakara
#LiterasiBanten
#SejarahTangerang
#FiksiHistoris
#GenZLiterasi
#ZiarahLiterasi
#SastraLokal
#HadiHartono
#BanggaAkarSendiri