Cerpen #Hubungan Internasional
Sesi 1: Di Negeri Orang, Bung Karno Masih Hidup
Paris, musim semi.
Langit bersih seperti lembaran kertas yang baru. Di taman Universitas Sorbonne, sekelompok mahasiswa internasional tengah duduk mengelilingi rumput yang mulai menghijau. Suara tawa, percakapan multibahasa, dan aroma kopi menguar dari termos termal yang dibawa Elsa, mahasiswa Norwegia.
Di tengah lingkaran itu, duduk seorang pria muda dari Indonesia, mengenakan hoodie abu-abu bertuliskan “Bandung 1955”. Namanya Arfan Mahendra, mahasiswa magister hubungan internasional yang sedang meneliti nasionalisme dunia ketiga.
Dan seperti biasa, hari itu pertanyaan itu datang. Dari seorang mahasiswa Mesir, bernama Tariq.
“Arfan,” katanya sambil mengunyah croissant, “why is it that every Indonesian I meet here speaks differently when talking about Sukarno?”
Arfan tersenyum. Ia sudah hafal. Bahkan ia sudah bisa menebak pertanyaan berikutnya: “Was he a dictator or a hero?”
Dan benar saja.
“Was he a dictator or a hero?” tanya Elsa, menimpali.
Arfan menarik napas dalam. Ia melihat sekeliling. Mahasiswa dari Jerman, India, Brasil, dan Senegal mulai menatapnya, seperti menunggu kuliah kecil.
“Kalau aku jawab dia pahlawan, kalian akan bilang dia otoriter,” ucap Arfan sambil meneguk kopi. “Kalau aku jawab dia diktator, rakyat di negeriku akan marah.”
Tariq tertawa. “It’s complicated, huh?”
“Very,” jawab Arfan. “Di Indonesia, Bung Karno itu seperti semesta. Ia bisa menjadi apa saja tergantung siapa yang bicara.”
“Lalu menurutmu?” tanya Sofia, perempuan Senegal yang gemar menulis puisi.
“Menurutku,” Arfan melirik langit, “Bung Karno itu seperti api. Ia bisa menerangi, tapi juga bisa membakar.”
Seketika percakapan jadi sunyi.
---
Malam harinya, Arfan kembali ke apartemennya di Rue Claude Bernard. Ia menyalakan lampu meja, membuka laptop, dan mulai menulis catatan hariannya — sesuatu yang sudah ia lakukan sejak awal kuliah di Prancis.
> Catatan Hari Ke-126 di Paris.
Hari ini mereka menanyakan lagi soal Bung Karno. Aku tak pernah bosan menjawab, tapi juga tak pernah benar-benar puas. Di sini, Sukarno hidup dalam buku-buku, kutipan di perpustakaan, dan poster Konferensi Asia Afrika. Tapi di Indonesia, dia hidup dalam perdebatan yang tak pernah selesai.
Di kelas hubungan internasional, Sukarno jadi bahan studi. Di media sosial, dia jadi meme.
Dan aku? Aku masih bertanya-tanya, apakah kita terlalu cepat melupakannya, atau terlalu lama menggantungkan diri padanya?
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Pesan dari dosen pembimbingnya, Prof. Martin Lefèvre.
> Arfan, you’re invited to speak in our guest seminar next week: “Post-Colonial Leadership in the Global South”. I think your voice matters.
Arfan menatap layar. Seminar. Soal kepemimpinan pascakolonial. Di depan para profesor dan mahasiswa internasional.
Ia tahu, itu artinya satu hal.
Ia harus bicara tentang Bung Karno.
---
Keesokan harinya, Arfan berdiri di depan cermin. Ia mencoba berlatih.
“Good afternoon. My name is Arfan Mahendra, and I will speak about a leader who shaped my nation’s soul…”
Tapi kalimat itu berhenti. Lidahnya terasa berat. Bukan karena bahasa Inggris, tapi karena beban sejarah.
Ia mengambil buku tipis berjudul Indonesia Menggugat, edisi terjemahan. Di dalamnya, ia menyimpan surat fotokopi tulisan tangan Bung Karno yang ia dapat dari Arsip Nasional saat kuliah S1. Surat itu ditulis Soekarno muda kepada Inggit Garnasih, tahun 1934, saat ia dibuang ke Ende.
> “Aku akan tetap mencintaimu, Inggit. Tapi cinta yang lebih besar adalah pada Ibu Pertiwi.”
Arfan membaca ulang kalimat itu.
Dan ia menangkap sesuatu yang tak pernah ia sadari sebelumnya.
Di luar negeri, Bung Karno hidup dalam pujian dan studi akademis. Di dalam negeri, ia hidup dalam perdebatan dan ketakutan. Tapi di hati Arfan, Bung Karno hidup sebagai perasaan: semacam kerinduan pada tanah air yang adil, merdeka, dan berani bermimpi besar.
Dan untuk pertama kalinya, Arfan tidak takut. Ia akan bicara. Bukan untuk membela Bung Karno, tapi untuk menjelaskan kenapa Indonesia tidak pernah selesai dengan dirinya sendiri.
---
Seminggu kemudian, ruang seminar penuh. Arfan berdiri di podium.
“Good afternoon,” katanya mantap. “Today, I won’t talk about a leader. I will talk about a longing. A national longing.”
Para hadirin diam.
Arfan melanjutkan:
“Sukarno, or Bung Karno as we call him, was not just our first president. He was the author of our collective imagination. He taught us that being small doesn’t mean being silent. He said, ‘Let the world know, this is Indonesia!’”
Ia menatap wajah-wajah asing itu. Tapi ia tak gentar.
“Yes, he made mistakes. Yes, he centralized power. Yes, he fell. But before he fell, he taught us to walk.”
Dan di baris akhir pidatonya, Arfan berkata:
“In every airport I pass, in every class I attend, people ask me about Sukarno. Not because of what he ruled. But because of what he dared to dream.”
Ruang itu hening.
Lalu, tepuk tangan pun pecah.
Dan Arfan tahu, pertanyaan tentang Bung Karno tak akan pernah selesai. Tapi itu bukan masalah. Karena selama mahasiswa Indonesia di luar negeri masih ditanya soal Bung Karno, berarti bangsa ini belum kehilangan api sejarahnya.
---
Sesi 2: Di Antara Mereka yang Menolak Lupa
Dua hari setelah seminar itu, nama Arfan Mahendra mulai bergaung di kalangan mahasiswa diaspora Indonesia di Eropa. Video potongan pidatonya disebar di grup WhatsApp dan Instagram, dikomentari dengan berbagai reaksi: dari rasa bangga sampai tudingan “romantisasi sejarah.”
Tapi satu undangan menarik perhatian Arfan.
> Halo Arfan, aku Dira, koordinator Forum Indonesia Merdeka (FIM) cabang Berlin. Kami dengar pidatomu. Penasaran ngobrol langsung? Kami akan adakan diskusi terbuka bulan ini: "Bung Karno: Antara Mitos dan Kenyataan". Mau datang? Kami cover tiketmu.
Awalnya Arfan ragu. FIM dikenal sebagai kelompok mahasiswa-kritikal yang tidak segan membongkar sisi gelap para pemimpin nasional, termasuk Sukarno. Tapi rasa ingin tahunya menang. Ia membalas: Saya datang.
---
Berlin, musim semi yang lebih dingin dari Paris.
Gedung tempat acara itu dilangsungkan tidak mewah: ruang komunitas kecil di distrik Neukölln. Di dalamnya, lima belas mahasiswa berkumpul. Sebagian mengenakan batik, sebagian lainnya hoodie dan jaket kulit. Di dinding, terpampang gambar Sukarno dengan kutipan “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”—tapi ada tambahan kecil di bawahnya, ditulis spidol: (kecuali sejarah gelapnya).
Arfan melangkah masuk. Di sana, seorang perempuan berkacamata menyambutnya dengan hangat. Ia Dira, mahasiswa doktoral bidang sejarah politik.
“Kita nggak akan debat kok,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Kita cuma ingin jujur.”
Diskusi dimulai. Tema dibuka oleh Dira: “Apa yang tidak kita bicarakan soal Bung Karno?”
Seorang mahasiswa teknik dari Belanda bernama Yoga angkat bicara.
“Kita sering bicara tentang Bung Karno yang heroik, tapi jarang bahas dia dalam relasi kuasa. Misalnya, kenapa dia tetap mempertahankan Dwikora walau rakyat lapar? Apa itu bentuk nasionalisme, atau justru ego pribadi?”
“Dia ingin Indonesia berdikari,” sela Rani, mahasiswa antropologi dari Uppsala. “Tapi kita lupa, berdikari juga butuh perut kenyang.”
Arfan menyimak. Ia mencatat. Lalu perlahan mengangkat tangan.
“Boleh saya jawab sebagai anak muda yang tumbuh dari cerita kakek saya, mantan petani PRRI yang ditangkap karena dituduh anti-Sukarno?”
Semua menoleh.
“Bung Karno memang tak sempurna. Tapi yang membedakan dia dari penguasa-penguasa sekarang adalah: dia punya imajinasi tentang bangsa. Dia bukan sekadar presiden, tapi pendongeng besar Republik.”
Dira tersenyum.
“Dan imajinasi itu,” lanjut Arfan, “masih jadi bahan bakar kita di luar negeri. Karena jujur saja, kalau bukan karena Bung Karno, siapa lagi tokoh Indonesia yang dikenal mahasiswa dunia?”
Sunyi sejenak.
Lalu, Yoga menjawab lirih, “Mungkin itu justru masalahnya. Kita kehabisan tokoh imajinatif sesudahnya.”
---
Usai diskusi, Arfan dan Dira duduk di sebuah warung kopi Turki. Asap kebab dan wangi mint menyatu dengan udara malam Berlin.
“Kamu tahu,” ujar Dira, menyesap teh, “ayahku aktivis 98. Dia dulu anti-Orde Baru. Tapi anehnya, dia juga kritis pada Sukarno. Katanya, dua-duanya suka mengkultuskan diri.”
“Lalu kamu sendiri?” tanya Arfan.
Dira tertawa. “Aku percaya pada data. Tapi juga pada cerita. Sukarno itu bukan hanya fakta, dia juga rasa.”
Arfan mengangguk pelan.
“Pernah,” katanya, “aku membaca surat Bung Karno pada rakyat Papua tahun 1963. Katanya: ‘Anakku di Irian, kamu bukan anak tiri. Kamu cahaya Timur.’ Tapi sekarang, siapa yang jadi cahaya itu?”
Dira terdiam. “Kita. Mungkin kita.”
---
Pulang ke Paris, Arfan merasa resah. Ia menulis lagi di catatannya.
> Catatan Hari Ke-134.
Di Berlin, Bung Karno masih jadi bahan perdebatan. Aku senang, tapi juga gelisah. Kita terlampau sering menelanjangi tokoh, tapi lupa merawat nilai yang mereka perjuangkan.
Bung Karno itu bukan soal siapa dia mencintai, siapa dia kecewakan, atau berapa kali dia berorasi. Tapi soal bagaimana ia membuat kita percaya: bahwa bangsa ini bisa berdiri setara di dunia.
Keesokan harinya, dosen pembimbingnya memberi kabar: Arfan terpilih sebagai salah satu dari tiga mahasiswa yang akan mewakili Sorbonne untuk program pertukaran dengan Universitas Jawaharlal Nehru di India.
Topiknya: “Mewarisi Dunia Ketiga: Dari Nehru ke Sukarno.”
Dan Arfan tersenyum. Dunia memang kecil. Tapi warisan sejarah bisa melintasinya.
---
Sesi 3: Di Mana Bung Karno dalam Dirimu?
Udara Delhi panas dan kering ketika Arfan Mahendra mendarat di Bandara Indira Gandhi. Dari jendela taksi, ia melihat tumpukan manusia, mobil, dan keramaian yang terasa akrab—mirip Jakarta era 90-an, tapi dengan langit lebih kelabu. Ia baru tiba untuk program akademik di Universitas Jawaharlal Nehru, sebuah kampus penuh warisan politik dan sejarah.
Di ruang seminar berpendingin udara seadanya, Arfan duduk bersama mahasiswa dari Nigeria, Pakistan, Vietnam, dan Kuba. Mereka datang untuk mendiskusikan warisan pemikiran Nehru, Sukarno, dan Nkrumah: tiga tokoh “Dunia Ketiga” yang pernah mengguncang panggung global.
Moderator memperkenalkan mereka satu-satu. Ketika giliran Arfan, ada tepuk tangan pelan. Nama "Sukarno" disebut sebelum dia membuka mulut.
Seorang mahasiswi India bernama Meera langsung bertanya dengan nada lembut tapi tajam, “Di Indonesia hari ini, apakah ajaran Bung Karno masih hidup? Atau dia sudah jadi sekadar nama jalan dan patung?”
Arfan terdiam sesaat, lalu menjawab perlahan.
“Ajaran Bung Karno masih hidup... dalam ketidakhadirannya.”
Para peserta tampak bingung. Arfan melanjutkan, suaranya lebih mantap:
“Maksud saya, setiap kali rakyat kami merasa diabaikan, ditindas, dijual pada modal asing, atau ditipu oleh elit politik—nama Sukarno muncul. Seperti hantu yang memanggil kita pulang. Bukan karena dia sempurna. Tapi karena dia membuat kita percaya bahwa Indonesia punya harga diri.”
Meera mengangguk, lalu berkata, “Tapi harga diri bukan sekadar pidato.”
Arfan menatapnya. “Benar. Tapi dari pidato-lah bangsa ini dulu bangkit. Dan mungkin, dari pidato juga kita bisa ingat siapa kita.”
---
Setelah diskusi, mereka berkeliling ke Gandhi Smriti, bekas rumah tempat Gandhi dibunuh. Meera mendekati Arfan sambil membuka percakapan.
“Kau tahu, di India, kami juga muak dengan glorifikasi. Nehru sekarang lebih banyak dipakai untuk propaganda daripada untuk pendidikan. Tapi aku heran, kenapa teman-teman Indonesia yang kutemui selalu menyebut Bung Karno dengan bangga?”
Arfan menjawab, “Karena Bung Karno bukan hanya pemimpin, dia adalah pelindung psikologis kami dari rasa rendah diri sebagai bangsa jajahan.”
Meera menatap dalam.
“Tapi kamu juga generasi baru. Di mana Bung Karno dalam dirimu?”
Pertanyaan itu menghantam. Arfan tak langsung bisa menjawab.
Malamnya, di penginapan sederhana yang disediakan kampus, Arfan membuka laptop dan menulis.
> Catatan Hari Ke-148
Hari ini aku ditanya, “Di mana Bung Karno dalam dirimu?”
Aku ingin menjawab: dia ada di suara ibuku saat mengajar murid-murid di sekolah desa dengan gaji kecil tapi semangat besar.
Dia ada di lengan petani yang tak sudi menjual tanahnya ke tambang.
Dia ada di puisi-puisi Wiji Thukul, di seruan mahasiswa 98, di mereka yang dibungkam tapi tak diam.
Tapi jika dia tidak juga kutemukan dalam diriku sendiri, maka semua itu hanya romantika kosong.
---
Keesokan harinya, ada sesi presentasi terbuka. Arfan menampilkan slide pertamanya: sebuah gambar Bung Karno duduk berdampingan dengan Nehru dan Nasser, di Konferensi Asia Afrika 1955. Ia memulai pidatonya, bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai anak dari sejarah yang luka dan bangga dalam satu nafas.
“Teman-teman,” katanya, “Bung Karno tidak sempurna. Dia gagal menyelamatkan ekonomi, gagal mempertahankan demokrasi. Tapi dia berhasil memberi kita identitas: bahwa kita bangsa yang setara dengan bangsa manapun.”
Ia melanjutkan, kini dengan suara lebih lembut:
“Di Indonesia hari ini, banyak yang kecewa dengan masa kini. Tapi harapan tidak mati. Karena masih ada yang percaya: Republik ini belum selesai.”
Sorak pelan terdengar. Seorang mahasiswa Nigeria mengacungkan tangan.
“Di negara saya, kami juga punya pemimpin besar yang menjadi legenda tapi meninggalkan luka. Bagaimana cara generasimu berdamai dengan bayangan masa lalu?”
Arfan menjawab:
“Kami tidak ingin menghapus bayangan itu. Kami ingin menyalakan cahaya baru. Tapi untuk itu, kami perlu berdiri tegak di atas kebenaran sejarah, bukan hanya nostalgia.”
---
Setelah acara, Meera mendekatinya lagi.
“Arfan,” katanya pelan, “kamu tidak menjawab pertanyaanku kemarin. Sekarang jawab: di mana Bung Karno dalam dirimu?”
Arfan tersenyum. Ia menatap langit Delhi yang samar, seperti bayangan peta dunia yang dulu pernah digambar Sukarno di pidato-pidatonya.
“Dia ada di suaraku ketika aku tidak mau diam. Dia ada di pikiranku saat aku melihat rakyat ditindas. Dia ada di keberanianku untuk tidak takut melawan ketidakadilan—meski itu berarti sendirian.”
Meera mengangguk. “Mungkin itu jawaban yang paling jujur.”
---
Hari terakhir di India, Arfan berdiri di depan cermin. Ia tidak membawa pulang patung Bung Karno, tidak membawa teks pidato, atau plakat.
Tapi ia membawa pulang satu pertanyaan yang akan ia simpan terus: Sudahkah aku menjadi Indonesia seperti yang dibayangkan Bung Karno?
---
Beberapa bulan kemudian, Arfan kembali ke Indonesia. Di bandara Soekarno-Hatta, ia menatap ribuan orang lalu-lalang.
Ia pulang bukan dengan gelar, tapi dengan kesadaran.
Bahwa menjadi mahasiswa Indonesia di luar negeri bukan hanya tentang belajar di kampus-kampus ternama.
Tapi tentang menjawab satu pertanyaan besar yang selalu datang dari penjuru dunia:
> “Apa artinya jadi Indonesia?”
Dan di situlah, Bung Karno selalu hadir. Dalam jawaban yang belum selesai. Tapi sedang diperjuangkan.
---
Tamat.