Bayang-Bayang Pungli di Gerbang Harapan
(ini Cerpen-Fiksi)
Author: Hadi Hartono
Sesi 1: Gerbang Impian yang Tertutup
Pagi itu, udara di Desa Sukamaju, Kabupaten Tangerang, terasa panas menyengat. Matahari baru saja menampakkan diri, mengintip malu-malu di balik rerimbunan pohon kelapa yang berjajar rapi di tepi jalan desa. Balai desa berdinding beton kusam itu sudah mulai dipenuhi oleh kerumunan anak muda dari berbagai dusun sekitar. Mereka datang membawa harapan, membawa mimpi yang sama: sebuah pekerjaan tetap, sebuah penghidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Rafi berdiri di tengah kerumunan itu, tubuhnya tegap meski keringat mulai membasahi pelipis. Ia mengenakan kemeja lengan pendek yang sudah agak lusuh dan celana jeans yang sedikit sobek di lutut. Tas selempang kecil berisi beberapa lembar surat lamaran dan fotokopi ijazah tergenggam erat di tangan kanannya. Mata Rafi sesekali menatap papan pengumuman yang terpasang di depan balai, di mana terpampang besar tulisan:
“Pendaftaran Calon Tenaga Kerja PT. Mandiri Jaya — Pabrik Baru Membuka Lowongan Kerja.”
Rafi menarik napas panjang. Ia tahu persaingan akan sangat ketat. Puluhan, mungkin ratusan, pemuda lain datang untuk hal yang sama. Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa di balik papan pengumuman itu tersembunyi sebuah aturan tak tertulis, aturan yang membuat harapannya mulai pudar.
Sementara itu, di sudut balai, seorang pria berusia sekitar 50-an berdiri mengamati situasi. Pak Jaya namanya. Dengan kemeja lengan panjang dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, ia terlihat tenang tapi penuh kewaspadaan. Ia bukan orang penting di pemerintahan desa, bukan pula bagian dari pihak pabrik. Ia adalah calo tenaga kerja, penguasa bawah tanah yang memegang kendali sesungguhnya atas siapa yang bisa masuk dan siapa yang harus menunggu.
Seorang pemuda datang menghampiri Pak Jaya. “Pak, saya mau daftar kerja di pabrik itu. Apa yang harus saya lakukan?” tanya pemuda itu gugup.
Pak Jaya tersenyum tipis dan mengeluarkan suara yang pelan tapi penuh arti: “Ini bukan soal siapa cepat daftar atau siapa yang paling banyak ijazah. Kalau kamu mau aman, kasih ‘biaya urus’ lima ratus ribu. Nanti aku pastikan namamu ada di daftar prioritas.”
Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Rafi yang sedang berdiri tidak jauh dari sana. Lima ratus ribu? Itu uang yang sangat besar untuknya dan keluarganya. Ia menunduk, mengingat ibu dan adik-adiknya yang menggantungkan harapan padanya.
Rafi melangkah pelan mendekati Pak Jaya, mencoba menyembunyikan rasa takut dan kecewa. “Pak, saya… saya tak punya uang sebanyak itu. Apakah ada cara lain?”
Pak Jaya memandangnya dengan tatapan dingin, lalu menggeleng pelan. “Kalau nggak ada biaya, ya kamu cuma bisa daftar biasa. Tapi, jujur saja, kamu tahu aturan di sini. Kalau cuma daftar biasa, jangan harap dipanggil.”
Sementara itu, Dewi, seorang gadis berusia 21 tahun yang duduk di bangku belakang balai desa, ikut mendengar pembicaraan itu. Dewi adalah teman lama Rafi. Berbeda dengan Rafi yang pendiam dan lebih pasrah, Dewi dikenal berani dan kritis. Mendengar pembicaraan itu membuat darahnya mendidih.
Ia bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Rafi. “Kamu dengar itu, Raf? Ini bukan cuma masalah kamu atau aku. Ini sudah sistem yang korup!”
Rafi menatap Dewi dengan wajah penuh kebingungan. “Tapi, Dew, kita butuh pekerjaan. Kalau nggak ada cara lain, gimana kita bisa bertahan?”
Dewi menggeleng pelan. “Kita nggak boleh diam. Kalau semua menyerah, mereka akan terus merampas hak kita. Aku sudah dengar cerita dari beberapa tetangga yang kena pungli ini. Mereka malah diancam kalau nggak bayar. Ini nggak adil!”
Perlahan, Dewi mulai mengumpulkan beberapa pemuda lain yang juga merasa dirugikan. Mereka bertukar cerita tentang pungutan-pungutan liar yang sudah lama terjadi setiap kali ada lowongan kerja besar. Mereka bercerita bagaimana janji kerja diikat dengan uang yang harus dibayar lebih dulu, bagaimana calon pekerja yang menolak harus menunggu bertahun-tahun atau bahkan diabaikan.
Rafi mendengarkan semuanya dengan hati yang semakin berat. Impian mendapatkan pekerjaan yang layak kini terasa jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Apalagi ketika beberapa senior yang seharusnya menjadi pelindung malah ikut terlibat.
Hari itu, suasana balai desa penuh dengan bisik-bisik kekhawatiran dan rasa tidak berdaya. Rafi menatap sekeliling, melihat wajah-wajah muda yang sama berharapnya dengan dirinya. Mereka adalah korban sebuah sistem yang korup dan tidak adil.
Namun di balik rasa putus asa itu, Dewi menyalakan secercah api perlawanan. “Kita harus buktikan bahwa kita bisa lawan ini,” ujarnya dengan suara tegas. “Untuk kita, untuk masa depan, dan untuk keadilan.”
Malam menjelang, Rafi pulang ke rumah dengan kepala penuh pikiran. Ia tahu jalannya tidak mudah, tapi ia juga tahu, kalau bukan dia yang memulai, siapa lagi?
Sesi 2: Perlawanan di Balik Pintu Tertutup
Beberapa hari setelah kejadian di balai desa, suasana di Desa Sukamaju masih terasa berat. Rafi masih bergelut dengan perasaan ragu dan kecewa, namun ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam dirinya—keberanian yang perlahan disulut oleh teman lamanya, Dewi.
Pagi itu, di sebuah warung kecil yang biasa jadi tempat nongkrong pemuda desa, Dewi sudah menunggu dengan wajah serius. Di depannya terhampar beberapa lembar kertas dan ponsel yang sesekali disentuhnya. Rafi datang dengan langkah pelan, duduk di kursi kayu reyot di samping Dewi.
“Kamu sudah dapat cerita dari yang lain?” tanya Dewi sambil menatap Rafi penuh arti.
Rafi mengangguk pelan. “Ya, kemarin aku ngobrol sama Pak Hasan. Dia bilang pungli sudah lama terjadi. Bahkan katanya, bukan cuma calo-calo kecil, tapi oknum desa dan pihak pabrik juga ikut terlibat.”
Dewi mengerutkan dahi. “Ini bukan sekadar urusan uang. Ini soal kekuasaan dan pengaturan siapa yang boleh masuk ke pabrik. Mereka mengatur agar orang-orang tertentu bisa dapat prioritas. Ini jelas penindasan.”
Rafi menghela napas panjang. “Kalau mereka semua terlibat, kita harus bagaimana? Kalau kita lawan, takutnya nanti malah ada tekanan. Aku takut,” ujarnya jujur.
Dewi meletakkan tangannya di bahu Rafi dengan lembut. “Aku juga takut, Raf. Tapi kalau kita diam, mereka akan terus menginjak-injak kita. Aku sudah mulai kumpulkan beberapa teman yang mau bergerak bersama. Kita akan kumpulkan bukti-bukti, mulai dari rekaman suara, foto transaksi, sampai kesaksian. Kita bawa ke dinas tenaga kerja dan kepala desa. Aku yakin kalau ada cukup bukti, mereka tidak bisa mengelak.”
Rafi melihat semangat Dewi yang menggebu, dan itu memberinya kekuatan baru. Mereka mulai membentuk kelompok kecil yang terdiri dari pemuda-pemudi desa yang juga merasa dirugikan oleh praktik pungli ini.
Malam harinya, mereka menggelar pertemuan rahasia di rumah salah satu anggota kelompok. Lampu yang temaram dan dinding yang retak tidak mengurangi semangat mereka untuk mencari keadilan.
“Kita harus hati-hati,” kata Dewi membuka pembicaraan. “Kalau mereka tahu kita bergerak, kita bisa diintimidasi atau bahkan diancam.”
Salah satu anggota kelompok, Andi, mengangguk. “Aku kemarin sempat diikuti orang waktu pulang dari balai desa. Aku yakin itu orang suruhan calo.”
Rafi menegakkan badan, tatapannya penuh tekad. “Kalau mereka berani mengancam kita, berarti kita sudah mulai mengganggu mereka. Itu pertanda kita harus terus maju.”
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan perjuangan. Mereka merekam suara dan mengumpulkan bukti-bukti transaksi pungli. Rafi bahkan berani merekam percakapan Pak Jaya ketika si calo bernegosiasi dengan calon pekerja lain.
Namun ancaman tak pernah hilang. Suatu malam, saat Rafi pulang dari pertemuan kelompok, ia menyadari ada sosok yang mengikuti dari belakang. Langkah kakinya berdegup cepat, jantungnya berdegup kencang. Ia berlari menuju jalan yang lebih ramai, dan akhirnya berhasil lolos dari kejaran itu.
Keesokan harinya, ia bercerita pada Dewi. “Aku merasa mereka sudah mulai takut sama kita. Tapi aku juga takut kalau mereka berbuat lebih dari itu.”
Dewi menatap Rafi dengan mata penuh semangat dan kesungguhan. “Kita harus lebih berhati-hati dan bersatu. Jangan biarkan ketakutan mengalahkan kita.”
Mereka pun memutuskan untuk mengirimkan laporan lengkap ke dinas ketenagakerjaan Kabupaten Tangerang. Mereka juga mencoba menemui kepala desa, meski awalnya mendapat penolakan dan perlakuan dingin.
Namun perlahan, suara-suara mereka mulai terdengar. Beberapa wartawan lokal pun mulai melirik kasus ini, dan warga desa yang sebelumnya diam mulai memberikan dukungan.
Meski jalannya penuh rintangan, kelompok kecil itu tahu bahwa perlawanan mereka mulai menorehkan harapan baru di balik pintu-pintu tertutup yang selama ini mengurung impian banyak orang.
Sesi 3: Cahaya di Ujung Terowongan
Waktu berjalan, perjuangan Rafi, Dewi, dan teman-teman kelompoknya mulai membuahkan hasil. Berkat bukti-bukti rekaman dan laporan yang mereka kumpulkan, Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Tangerang membuka penyelidikan resmi terhadap praktik pungli yang selama ini menjerat para calon tenaga kerja di desa mereka.
Suasana di Desa Sukamaju pun berubah. Meski masih ada ketegangan, warga mulai merasa ada harapan baru. Kepala desa yang semula bungkam mulai memberikan klarifikasi di depan warga. Pak Jaya dan beberapa calo yang selama ini berkuasa atas proses perekrutan juga dipanggil pihak berwenang.
Pada suatu sore yang cerah, di balai desa yang sama tempat para pemuda berkumpul dulu, digelar pertemuan besar antara aparat desa, perwakilan pabrik, dinas ketenagakerjaan, serta warga yang terdampak. Rafi dan Dewi duduk berdampingan, mata mereka menyiratkan campuran antara gugup dan penuh harapan.
“Kami berterima kasih atas keberanian para pemuda dan warga yang telah melaporkan praktik pungli ini,” kata kepala dinas ketenagakerjaan, Pak Surya, dengan suara tegas. “Kami berkomitmen untuk membersihkan proses perekrutan tenaga kerja dari segala bentuk pungutan liar dan memastikan transparansi serta keadilan bagi semua calon pekerja.”
Dewi mengangguk, matanya berbinar. “Ini baru awal, Pak. Kami ingin memastikan tidak ada lagi korban yang harus membayar mahal hanya untuk mendapatkan hak mereka.”
Pak Jaya yang duduk di barisan belakang tampak murung. Hari itu, ia tahu kekuasaannya mulai runtuh. Tak lama setelah pertemuan, ia ditahan untuk proses hukum.
Namun bukan hanya itu kemenangan yang mereka raih. Pabrik Mandiri Jaya juga mulai membuka program pelatihan kerja gratis yang disponsori pemerintah daerah, agar warga desa bisa mendapatkan keterampilan dan akses langsung ke lapangan kerja tanpa perantara.
Rafi kini mendapat kesempatan ikut pelatihan tersebut. Ia merasakan harapan dan rasa bangga yang sebelumnya sulit ia percaya akan datang.
Suatu hari di sela-sela pelatihan, Dewi berdiri di samping Rafi sambil tersenyum. “Lihat, Raf. Ini bukti kalau kalau suara kita punya kekuatan. Kalau kita bersatu, kita bisa lawan ketidakadilan.”
Rafi mengangguk. “Aku belajar banyak dari perjuangan ini. Aku tahu jalan masih panjang, tapi sekarang aku yakin kita bisa berubah.”
Malam itu, ketika mereka pulang ke rumah masing-masing, langit desa Sukamaju tampak lebih cerah. Bintang-bintang bersinar seperti menyambut harapan baru yang tumbuh di hati para pemuda desa itu.
Gerbang impian yang dulu tertutup rapat, kini mulai terbuka lebar. Dan mereka, dengan semangat baru, siap melangkah menembusnya.
Disclaimer Cerpen
Cerpen ini merupakan karya fiksi yang dibuat untuk tujuan hiburan dan refleksi sosial. Nama tokoh, tempat, dan kejadian adalah hasil imajinasi penulis, meskipun terinspirasi dari realitas sosial di Kabupaten Tangerang. Segala kemiripan dengan orang, kelompok, atau kejadian nyata adalah kebetulan semata. Cerpen ini tidak bermaksud menuduh atau mencemarkan nama baik pihak manapun.