Partai Politik Berbisnis: Dalam Perspektif Bung Karno
Pendahuluan: Ketika Partai Menjadi Korporasi
Dalam lanskap demokrasi modern, partai politik kerap menjelma menjadi entitas yang tak hanya berkepentingan pada kekuasaan politik, tetapi juga ekonomi. Fenomena partai politik yang berbisnis, membangun konglomerasi, atau menciptakan jaringan ekonomi terselubung telah menjadi realitas di banyak negara berkembang — termasuk Indonesia. Lantas, bagaimana kita memahami fenomena ini dalam kerangka pemikiran pendiri bangsa? Apa pandangan Bung Karno tentang hubungan antara partai politik dan bisnis?
Tulisan ini membedah posisi ideologis dan praktis Bung Karno terkait etika dan orientasi partai politik, mengulas kritik terhadap komersialisasi politik, dan menjelaskan konsepsi negara sebagai alat perjuangan rakyat — bukan alat bisnis elite politik. Kita akan mengkaji pula bagaimana semangat Marhaenisme Bung Karno justru bertentangan dengan praktik partai yang menanggalkan misi ideologis demi akumulasi kapital.
---
1. Gagasan Dasar Bung Karno: Partai Politik Sebagai Alat Perjuangan Ideologis
Dalam berbagai pidato dan tulisannya, Bung Karno menegaskan bahwa partai politik adalah alat untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan yang belum selesai: keadilan sosial, kemakmuran rakyat, dan kedaulatan nasional. Ia tidak memandang partai sebagai kendaraan kekuasaan semata, apalagi sebagai instrumen ekonomi. Dalam Di Bawah Bendera Revolusi (1963), Bung Karno menulis:
> “Partai adalah alat revolusi. Bukan alat cari makan. Bukan alat untuk memperkaya diri atau kelompok.”
Dalam konsep Marhaenisme, partai politik menjadi jembatan antara rakyat kecil (Marhaen) dan struktur negara. Artinya, partai punya kewajiban ideologis, bukan oportunis. Ia tak boleh menjadi biro iklan kebijakan oligarki, apalagi kongsi dagang kekuasaan.
---
2. Nasionalisme dan Anti-Kapitalisme: Kritik Bung Karno terhadap Kolaborasi Politik-Ekonomi
Bung Karno secara konsisten menentang sistem kapitalisme, terutama dalam bentuk liberalisme ekonomi yang membuka jalan bagi penetrasi modal asing dan elit domestik. Baginya, kapitalisme adalah sumber ketimpangan. Ketika partai politik terlibat dalam aktivitas bisnis, maka terjadilah simbiosis antara kekuasaan dan kapital — sebuah bentuk “neo-kolonialisme internal”.
Dalam pidatonya di Sidang Umum PBB tahun 1960 (To Build the World Anew), Bung Karno memperingatkan bahaya ekonomi yang dikuasai elite kecil, termasuk elite politik yang menyaru sebagai wakil rakyat, padahal beroperasi seperti konglomerat.
---
3. Partai dan Ekonomi: Distingsi antara Kemandirian Finansial dan Kapitalisasi Kekuasaan
Apakah Bung Karno menolak seluruh bentuk partai yang memiliki sumber ekonomi? Tidak sepenuhnya. Bung Karno mengakui pentingnya kemandirian finansial partai agar tidak bergantung pada cukong atau korporasi. Namun, perbedaannya terletak pada niat dan orientasi.
Bung Karno mendorong koperasi rakyat sebagai basis ekonomi politik yang sehat. Ia lebih menyukai partai yang punya jaringan ekonomi berbasis rakyat — koperasi, BUMDesa, atau sektor informal rakyat kecil — daripada partai yang membangun perusahaan properti, tambang, atau perbankan yang jauh dari rakyat.
---
4. Konteks Historis: Ketika Partai Politik Menjaga Jarak dengan Bisnis
Di masa awal kemerdekaan, partai-partai seperti PNI, PKI, dan Masyumi cenderung menjaga jarak dari bisnis. Mereka memiliki sayap organisasi buruh, tani, pemuda, dan perempuan sebagai alat mobilisasi massa. Struktur partai bukan seperti holding company, melainkan seperti rumah ideologi.
Namun sejak Orde Baru, praktik ini berubah. Dengan kontrol ekonomi oleh negara dan rezim otoriter, partai-partai baru menjadi alat birokrasi, dan setelah reformasi 1998, banyak partai menjelma menjadi organisasi yang berorientasi dagang — bahkan memiliki perusahaan tambang, televisi, dan universitas.
Fenomena ini tak lepas dari kekosongan ideologis. Partai kehilangan arah dan menjelma menjadi entitas yang lebih peduli pada pemilu, kursi, dan uang, ketimbang perjuangan rakyat.
---
5. Komersialisasi Politik dan Dekadensi Ideologis
Bung Karno sangat mengecam dekadensi ideologis dalam partai politik. Dalam banyak kesempatan, ia memperingatkan bahwa jika partai hanya menjadi alat transaksional, maka yang muncul bukanlah demokrasi, tapi demokrasi pasaran — di mana suara rakyat dibeli dan dijual.
Komersialisasi politik, menurut Bung Karno, adalah bentuk penindasan baru. Bukan lagi melalui penjajahan, tapi melalui uang. Ini disebutnya sebagai bentuk kolonialisme baru — yakni ketika kekuasaan dibeli oleh segelintir elite, lalu digunakan untuk memperkaya diri dan keluarga, bukan untuk menyejahterakan rakyat.
---
6. Partai Politik dan Marhaenisme Ekonomi: Alternatif yang Diusulkan
Dalam skema Marhaenisme, ekonomi partai idealnya bersumber dari rakyat dan untuk rakyat. Bung Karno menawarkan ekonomi gotong royong, bukan kapitalisme kompetitif. Ia membayangkan partai membina koperasi, BUMDesa, dan UMKM, bukan membangun hotel, tambang, atau anak usaha seperti holding konglomerat.
Ia menyebut model ini sebagai demokrasi terpimpin ekonomi, di mana negara — termasuk partai di dalamnya — menjadi fasilitator kesejahteraan rakyat, bukan aktor pasar.
---
7. Pandangan Etis: Konflik Kepentingan antara Kekuasaan dan Bisnis
Bung Karno tegas: tidak boleh ada tumpang tindih antara kekuasaan dan bisnis. Jika partai politik menjadi pelaku ekonomi, maka mereka akan merancang regulasi untuk kepentingan bisnisnya sendiri, bukan rakyat. Inilah asal mula oligarki.
Ia menganjurkan etika politik sebagai landasan utama bernegara. Dalam pidatonya di Konstituante, Bung Karno berkata:
> “Kita harus memilih: menjadi pelayan rakyat atau menjadi makelar kekuasaan.”
Dalam konteks modern, ini artinya: partai harus memilih — apakah menjadi pelayan rakyat atau konglomerat politik.
8. Pelajaran bagi Demokrasi Kontemporer: Membatasi Nafsu Bisnis Partai
Di era reformasi, partai-partai politik Indonesia justru makin aktif dalam bisnis. Beberapa memiliki saham media, konsesi pertambangan, rumah sakit, dan perusahaan digital. Hal ini menciptakan masalah serius: konflik kepentingan, penggelapan dana publik, dan kooptasi terhadap kebijakan negara.
Bung Karno akan sangat kecewa jika melihat partai hari ini yang lebih sibuk mengejar proyek daripada memperjuangkan petani dan buruh. Ia membayangkan partai sebagai benteng ideologi, bukan sebagai operator proyek APBN atau alat pencari rente.
9. Menuju Reformasi Politik: Reaktualisasi Gagasan Bung Karno
Untuk menghindari komersialisasi berlebihan, perlu dibangun sistem pendanaan politik yang transparan, pembatasan usaha ekonomi partai, serta audit publik terhadap harta partai. Gagasan Bung Karno dapat dijadikan kompas moral untuk mereformasi partai politik.
Langkah-langkah reaktualisasi antara lain:
Mendorong partai membina koperasi rakyat, bukan perusahaan swasta.
Mengatur UU Partai Politik agar melarang partai memiliki bisnis komersial yang berkonflik kepentingan.
Mewajibkan laporan keuangan partai dipublikasikan setiap tahun.
Mengembalikan fungsi partai sebagai pembina kader, bukan agen proyek atau makelar anggaran.
10. Penutup: Jalan Pulang ke Idealisme Politik
Dalam kacamata Bung Karno, partai bukanlah tempat untuk kaya, tetapi tempat untuk berjuang. Bila partai politik kehilangan ideologinya dan mengejar bisnis, maka ia tidak lebih dari korporasi yang menyaru sebagai pemimpin rakyat.
Relevansi pemikiran Bung Karno hari ini semakin nyata. Dalam dunia politik yang semakin pragmatis dan transaksional, kita perlu kembali pada semangat kerakyatan, etika perjuangan, dan ekonomi gotong royong. Partai harus berhenti menjadi pebisnis, dan kembali menjadi penjaga harapan rakyat.
---
Referensi:
1. Sukarno. Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1 dan 2.
2. Anwar, Rosihan. Sukarno: Biografi Politik.
3. Heryanto, Ariel. Identitas dan Ideologi Politik Indonesia.
4. Haris, Syamsuddin. Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Praktik.
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
6. Pidato Bung Karno di PBB: “To Build the World Anew” (1960).
7. Pidato Bung Karno di Konstituante RI (1957).
---