Udin: Nasib Pedagang Kecil #Pembangunan Pasar Mangkrak

Udin: Nasib Pedagang Kecil #Pembangunan Pasar Mangkrak*)

Author: Hadi Hartono




Sesi 1: Awal Perjuangan di Pasar Lama

Pagi masih menggigil ketika Udin tiba di Pasar Lama. Kabut belum sepenuhnya enyah, tapi kios-kios sudah hidup dengan suara orang menawarkan dagangan. Bau bawang, sayur segar, dan tanah basah berpadu menyambut siapa pun yang masuk ke gang sempit antar lapak.

“Cepat, Din. Pembeli pertama bawa rezeki,” seru Bu Mimin, pedagang sayur di kios sebelah.

Udin tersenyum lebar sambil menyusun kerupuk dan telur asin di meja lapaknya. “Iya, Bu. Kalau telat, bisa didahului rezekinya,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Kios Udin sederhana, hanya seukuran tiga kali tiga meter. Tapi dari sanalah ia menggantungkan hidup, menyekolahkan dua anak, dan membantu ibunya yang sudah tua. Butuh lima tahun menabung dari berdagang keliling sebelum ia bisa menyewa kios itu. Dan kini, baru tiga bulan berjalan, kabar buruk datang.

“Eh, Din, udah denger belum?” tanya Jaka, pedagang sembako muda yang baru dua tahun buka lapak di pasar itu. Ia datang membawa kopi dan duduk di bangku kayu depan kios Udin.

“Denger apaan?” Udin menaikkan alis.

“Pasar ini mau direvitalisasi. Katanya, pemerintah mau bangun pasar baru di Cikoles. Yang ini bakal ditutup.”

Udin terdiam. “Serius, Jak?”

Jaka mengangguk. “Udah pasti. Mereka udah mulai nawarin kios di pasar baru. Tapi ya... harganya lumayan. Katanya sih bisa nyicil.”

Kabar itu seperti tamparan dingin di pagi hari. Udin tahu, setiap pedagang di pasar itu hidup pas-pasan. Memindahkan usaha bukan perkara mudah, apalagi harus beli kios.


Beberapa minggu kemudian, perwakilan dari Perusahaan Daerah mendatangi para pedagang. Mereka membawa brosur berwarna-warni, menampilkan ilustrasi pasar baru yang megah, bersih, lengkap dengan tempat parkir luas dan kamera CCTV.

“Pasar Cikoles ini adalah wajah baru perdagangan kota kita. Pedagang lama kami prioritaskan. Uang muka bisa dicicil. Dan kalau ikut dari awal, harga kios masih murah,” ujar petugas berseragam sambil tersenyum.

Udin menatap brosur itu lama. Ada getar harapan, tapi juga ketakutan. Ia pulang membawa selebaran itu dan duduk lama bersama istrinya malam itu.

“Gimana, Bang?” tanya Siti, istrinya, sambil menyusui anak bungsu mereka.

“Kalau kita nggak ikut, nanti malah nggak kebagian. Tapi kalau ikut... uang dari mana?”

Siti terdiam. “Pakai tabungan lebaran, terus pinjam sedikit sama koperasi. Bismillah aja, Bang. Siapa tahu ini jalan kita maju.”

Udin memandangi wajah istrinya. Lelah, tapi masih punya semangat. Ia pun akhirnya mendaftar, membayar uang muka dari hasil menjual motor bebek tuanya, ditambah pinjaman koperasi pasar. Hatinya berat, tapi dipenuhi harapan baru.


Sebulan berlalu. Pasar Lama mulai sepi. Beberapa kios kosong. Beberapa pedagang sudah pindah ke lokasi sementara di dekat proyek pembangunan Cikoles. Udin pun ikut pindah. Kios barunya belum dibangun, tapi ia diberi tempat tenda darurat di lapangan samping lokasi.

Hari-hari pertama, pembeli nyaris tak ada. Lokasi jauh dari pusat kota. Akses jalan rusak. Panas dan hujan menghantam tenda seadanya. Tapi Udin tetap berdagang, membuka lapak dari subuh sampai sore, meski hanya laku segenggam kerupuk dan sebutir telur asin.

“Bang, kenapa sih harus pindah? Di pasar lama banyak yang beli,” tanya anak sulungnya, Icha, ketika ikut membantu.

Udin menarik napas. “Karena katanya di sini masa depan. Kita harus sabar dulu, Cha. Nanti kalau pasar baru jadi, insyaallah ramai.”

Icha mengangguk, walau wajahnya tak sepenuhnya percaya.

Udin menatap ke arah proyek pembangunan yang masih berupa rangka baja dan gundukan tanah. Ia menggenggam brosur pasar Cikoles yang mulai kusam di sakunya. Di sana ada gambar kios impiannya, yang kini terasa jauh dan samar.

“Tuhan, semoga ini bukan mimpi kosong,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar oleh siapa pun.




 Sesi 2: Mimpi di Pasar Baru

Hari-hari di tenda darurat makin terasa panjang. Panas menyengat dari atap seng, dan saat hujan turun, lantai tanah berubah menjadi lumpur licin. Tapi Udin tetap berdiri di sana, menjaga lapaknya yang kecil dengan sisa harapan.

“Bang Udin, ini dagangan belum laku juga?” tanya Pak Dayat, sesama pedagang yang menjual sayuran.

Udin tersenyum kecut. “Baru laku satu bungkus kerupuk, Pak. Pembeli jarang lewat sini. Katanya nunggu pasar barunya jadi dulu.”

Pak Dayat mengangguk pelan. “Padahal kita udah bayar uang muka. Tiang-tiang itu nggak ada perubahan dari minggu lalu.”

Mereka sama-sama memandang proyek di samping mereka. Rangka baja yang setengah berdiri itu tampak terbengkalai. Alat berat sudah lama tidak terdengar. Pekerja pun hanya tampak satu-dua, dan itu pun sekadar berjalan mondar-mandir.


Suatu pagi, para pedagang dikumpulkan oleh pihak perusahaan daerah. Aula tenda penuh sesak. Seorang pria berkemeja putih naik ke atas panggung kecil dan berbicara dengan suara lantang.

“Bapak-Ibu sekalian, kami paham keresahan kalian. Proyek ini sedikit tertunda karena kendala teknis dan cuaca. Tapi kami pastikan akan selesai dalam waktu enam bulan ke depan.”

Suara-suara gemuruh terdengar dari para pedagang.

“Katanya tiga bulan selesai! Ini udah jalan bulan keempat!”

“Uang kami udah masuk, kios belum jadi!”

Udin hanya mendengarkan. Hatinya tidak lagi sepenuhnya percaya, tapi ia mencoba tetap tenang. Ia tahu marah tidak membuat dagangannya laku.

Setelah pertemuan itu, Udin pulang dengan langkah berat. Di rumah, istrinya menyambut dengan wajah lelah.

“Ada kabar baik, Bang?” tanya Siti sambil membereskan sisa dagangan.

Udin hanya menggeleng. “Katanya enam bulan lagi. Tapi aku ragu.”

Siti menunduk. Anak-anak tidur berjejer di lantai beralas tikar. Lemari kosong, dapur hanya menyisakan setengah karung beras.

“Besok aku coba jualan kue keliling lagi,” kata Siti akhirnya. “Biar ada tambahan. Kamu tetap di kios. Kita bertahan, ya, Bang...”


Hari demi hari, janji-janji pembangunan terasa makin jauh. Para pedagang mulai khawatir. Kios yang dijanjikan belum tampak bentuknya. Bahkan papan proyek sudah mulai usang dimakan hujan dan panas.

Suatu sore, Udin duduk sendirian di tepi lapak. Dagangan hanya terjual sedikit. Ia membuka buku catatannya. Cicilan koperasi masih tiga belas bulan lagi. Uang masuk dari penjualan tak cukup menutup pengeluaran rumah.

Tiba-tiba, Pak RT datang menghampiri. Wajahnya serius.

“Din, tadi aku dari kelurahan. Katanya proyek ini lagi diaudit. Ada masalah sama dananya.”

Udin menoleh cepat. “Audit? Maksudnya gimana?”

“Belum jelas. Tapi sepertinya ada dugaan penyimpangan. Perusahaan daerah yang bangun pasar ini kayaknya lagi kesulitan dana. Bisa-bisa mangkrak.”

Jantung Udin berdegup kencang. Ia menatap proyek di sampingnya. Rangka baja itu masih berdiri, tapi sekarang tampak seperti bangkai raksasa yang tak bernyawa.


Malam itu, Udin tak bisa tidur. Ia duduk di dapur, menatap api kecil di tungku.

“Kalau pasar ini beneran gagal dibangun, kita harus gimana, Bang?” tanya Siti dari balik pintu.

Udin diam. “Aku nggak tahu, Ti. Tapi aku nggak bisa biarin begini terus. Kita harus cari tahu kebenarannya. Kita nggak boleh diam.”

“Sendiri?”

“Enggak. Aku yakin pedagang lain juga resah. Kita harus bersatu.”

Siti duduk di samping suaminya, menggenggam tangannya erat.

“Apapun yang terjadi, kita hadapi bareng, Bang.”


Besok paginya, Udin mulai berbicara dengan para pedagang lain. Ia mendekati satu per satu, menyuarakan kekhawatirannya. Ternyata, banyak yang merasakan hal sama. Mereka setuju membentuk sebuah forum kecil: Forum Pedagang Pasar Cikoles.

Di pertemuan pertama yang dilakukan di bawah tenda dengan meja plastik dan bangku kayu, puluhan pedagang hadir.

“Kita sudah keluar uang. Kita sudah tinggalkan pasar lama. Kita punya hak untuk tahu ke mana uang kita,” kata Udin di depan semua.

“Kalau perusahaan daerah tidak mampu, kita harus minta pertanggungjawaban pemerintah!” teriak Pak Dayat.

Suara persetujuan menggema. Untuk pertama kalinya, Udin merasa tidak sendiri.

Mimpi di pasar baru itu mungkin telah retak, tapi kini Udin tahu: harapan bisa dibangun ulang — asal ada keberanian untuk melawan ketidakadilan.



Sesi 3: Kenyataan Pahit

Musim hujan datang lebih cepat tahun itu. Tenda-tenda darurat para pedagang tak sanggup menahan derasnya air. Lapak Udin kebanjiran, dagangan basah, pembeli makin langka. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan.

Yang paling menyakitkan adalah... diamnya pemerintah.

Forum Pedagang Pasar Cikoles sudah dua kali mengirim surat ke Dinas Perdagangan dan ke kantor Perusahaan Daerah. Tak satu pun mendapat jawaban yang jelas. Papan proyek tetap berdiri, tapi tak ada aktivitas di dalamnya. Rangka baja berkarat. Material berserakan tak terurus.

“Apa ini yang disebut proyek strategis daerah?” gerutu Pak Dayat sambil menunjuk papan itu. “Katanya untuk rakyat. Tapi ini ngerampok masa depan kita.”

Udin berdiri di sampingnya. Wajahnya lebih tirus dari beberapa bulan lalu. Ia jarang makan pagi, sering menahan lapar demi anak-anak.

“Kita harus buat langkah berikutnya,” katanya tenang. “Kalau mereka masih diam, kita bawa ini ke media.”


Dua minggu kemudian, sebuah berita muncul di media lokal:

"Mangkrak! Proyek Pasar Cikoles Telan Miliaran, Pedagang Terlantar"

Wartawan yang datang ke lokasi mewawancarai beberapa pedagang, termasuk Udin. Foto-foto tenda bocor, dagangan sepi, dan bangunan setengah jadi memenuhi halaman depan koran.

Esoknya, telepon forum pedagang tak berhenti berdering. Stasiun radio lokal mengundang perwakilan forum untuk berbicara langsung di udara.

“Apa yang paling Bapak sesalkan dari situasi ini?” tanya penyiar kepada Udin saat siaran berlangsung.

Udin menarik napas panjang. “Yang saya sesalkan adalah kami rakyat kecil selalu disuruh percaya, tapi tak pernah diberi kejelasan. Kami diminta bayar kios yang tak pernah jadi. Kami tinggalkan pasar lama, lalu ditelantarkan.”

“Lalu, apa yang Bapak dan rekan pedagang harapkan?”

“Kami hanya ingin keadilan. Kios kami. Janji mereka. Atau paling tidak—pengembalian uang kami. Jangan biarkan rakyat kecil jadi korban ambisi dan kebohongan.”


Tak lama setelah siaran itu, barulah muncul tanggapan resmi. Pemkot mengakui proyek bermasalah. Ternyata, perusahaan daerah yang mengerjakan pembangunan mengalami defisit keuangan besar. Audit menunjukkan banyak kejanggalan: pembengkakan biaya, pengadaan fiktif, hingga laporan palsu soal progres bangunan.

Namun, tidak ada satu pun yang ditahan. Direktur BUMD menyatakan diri “mundur dengan hormat”. Pemerintah hanya menyebut akan mencari solusi “jangka panjang”.

“Jangka panjang apanya?” hardik Jaka dalam rapat forum. “Kita ini butuh makan tiap hari, bukan sabar sepuluh tahun lagi!”

Suasana rapat makin panas. Beberapa pedagang ingin turun aksi ke balai kota. Yang lain masih berharap pendekatan damai.

Udin menenangkan. “Aksi penting, tapi harus rapi. Kita jangan jadi massa liar. Kita harus tetap tunjukkan bahwa kita pedagang, bukan perusuh.”


Di rumah, Udin dan Siti berbicara pelan di teras. Hujan gerimis. Anak-anak tidur lebih awal, mungkin karena lapar dan lelah.

“Aku lihat kamu capek, Bang,” kata Siti, mengusap pundaknya. “Tapi aku bangga kamu nggak diam.”

Udin tersenyum tipis. “Kadang aku nanya sama diri sendiri, apa ini semua salahku. Kalau aku nggak pindah, kalau aku nggak percaya waktu itu…”

“Jangan bilang gitu.” Siti menatapnya tegas. “Kamu cuma pengen hidup lebih baik. Semua orang juga pasti begitu. Yang salah itu mereka, yang punya kuasa, tapi ngibulin orang kecil kayak kita.”

Udin mengangguk. “Kita harus terus jalan, Ti. Meski lambat. Asal jangan berhenti.”


Beberapa hari kemudian, surat undangan rapat terbuka datang dari DPRD kota. Forum Pedagang Cikoles diundang untuk memberikan kesaksian dan bukti. Ini mungkin titik balik. Atau... hanya panggung baru untuk sandiwara lama.

Tapi Udin tahu satu hal: selama mereka bersuara, mereka belum kalah.




Sesi 4: Perlawanan dan Harapan Baru

Ruang rapat DPRD kota itu terasa asing bagi Udin. Lampu-lampu terang, kursi berderet rapi, dan wajah-wajah pejabat dengan ekspresi datar. Tapi ia tidak gentar. Di belakangnya, puluhan pedagang berdiri. Pakaiannya sederhana, tapi suara mereka bulat: minta keadilan.

“Silakan, Pak Udin. Bapak mewakili Forum Pedagang Cikoles, ya?” tanya pimpinan sidang.

Udin berdiri. Tangannya sedikit gemetar, tapi suaranya jelas.

“Kami datang bukan untuk menuntut hal muluk. Kami hanya ingin kejelasan atas nasib kami—uang kios yang telah kami bayar, dan janji pembangunan yang tak kunjung ditepati.”

Ia menyerahkan berkas bukti pembayaran, foto lapak darurat, dan salinan kontrak. Beberapa anggota dewan menunduk, yang lain saling bertukar pandang.

“Apakah pihak pemerintah tidak memberikan kompensasi apa pun selama ini?” tanya seorang anggota dewan.

“Tidak ada,” jawab Udin. “Yang ada hanya janji dan alasan.”


Sidang itu menjadi titik balik. Berita tentang kesaksian para pedagang menyebar luas. Tekanan publik meningkat. Akhirnya, wali kota turun tangan langsung. Ia mengumumkan bahwa proyek Pasar Cikoles akan dialihkan ke pengelola baru, dengan audit menyeluruh dan skema penyelesaian.

Namun, ada syaratnya: proses butuh waktu. Setidaknya satu tahun ke depan baru bisa dimulai lagi.

“Kami mohon pengertian masyarakat,” ujar wali kota di konferensi pers. “Kami akan mencari solusi agar para pedagang bisa tetap berdagang dengan layak sembari menunggu.”


Berita itu membawa perasaan campur aduk. Ada kelegaan, tapi juga getir. Satu tahun bukan waktu singkat. Dan tetap saja, tak ada kepastian mutlak.

Di lapak kecilnya, Udin kembali berdagang seperti biasa. Tanpa tenda resmi. Hanya meja kayu dan payung besar. Tapi kali ini, ia tidak sendiri.

Para pedagang mulai saling bantu. Ada yang membuat koperasi kecil untuk saling pinjam modal. Ada yang berbagi tempat. Anak-anak muda di sekitar pasar membantu promosi lewat media sosial. Lambat laun, pembeli kembali berdatangan.


Suatu siang, Icha—anak sulung Udin—mengantar minum ke lapak.

“Bangga sama Ayah,” katanya lirih. “Sekarang orang-orang di sekolah cerita soal pedagang yang berani lawan ketidakadilan. Nama Ayah disebut.”

Udin tersenyum. “Ayah nggak mau terkenal, Cha. Ayah cuma pengen dagang tenang. Punya tempat yang layak.”

“Tapi karena Ayah berani, banyak orang lain ikut bicara. Nggak semua orang bisa begitu.”

Udin menatap mata anaknya. Dalam diam, ia merasa apa yang diperjuangkannya tak sia-sia.


Setahun kemudian, pembangunan pasar dimulai kembali. Pelan, tapi nyata. Forum pedagang diminta ikut mengawasi. Nama-nama yang terlibat dalam penyelewengan sebelumnya dibawa ke jalur hukum. Beberapa pejabat diberhentikan.

Dan pada suatu pagi yang cerah, Udin berdiri di depan kios barunya—yang kini benar-benar berdiri. Ukurannya tak seberapa, tapi cukup untuk memulai lagi. Ia menata rak, menyusun kerupuk dan telur asin, seperti dulu saat pertama kali di Pasar Lama.

Siti datang membawa termos teh. Anak-anak berlarian di lorong pasar yang kini bersih dan ramai.

“Capek, Bang?” tanya Siti sambil duduk di bangku kios.

“Capek,” jawab Udin. “Tapi puas.”

Ia memandang langit, kemudian melihat wajah istrinya. “Ternyata, jadi pedagang kecil itu berat, ya.”

“Tapi hati kamu besar, Bang,” bisik Siti.

Udin hanya tersenyum. Dalam hidup yang serba kekurangan, ternyata keberanian adalah dagangan paling berharga.


TAMAT


*)Ini hanya cerita pendek (Fiksi)

Disclaimer:

Cerita ini adalah karya fiksi. Nama tokoh, tempat, peristiwa, dan dialog dalam cerita merupakan hasil rekaan penulis semata. Jika terdapat kesamaan dengan kejadian nyata, nama individu, atau institusi tertentu, hal tersebut adalah kebetulan semata dan tidak dimaksudkan untuk merujuk atau menyudutkan pihak mana pun. Cerita ini dibuat untuk tujuan hiburan dan refleksi sosial, bukan sebagai dokumen sejarah atau laporan fakta.


#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!