Tuhan Tak Pernah Online#
Oleh: Bung HH
Namaku Abid. Lulusan sarjana hukum, IPK 3,87, menganggur sudah dua tahun. CV-ku lebih sering ditolak HRD daripada doa yang ditolak langit.
Segala pintu kutempuh. Loker, pelatihan, magang bersyarat, bahkan lapor ke dinas tenaga kerja yang kantor dan hatinya sama-sama dingin. Yang kudapat hanya satu kalimat sakti dari birokrasi: "Silakan datang lagi Senin depan."
Pada titik jenuh, aku mulai mempertanyakan segalanya. Tentang keadilan. Tentang doa yang katanya sampai tapi rasanya mental. Dan pada malam yang murung, dengan jempol gemetar dan WiFi tetangga yang nyolong sinyal, aku mengetik di PlayStore:
"Cari Tuhan."
Yang muncul malah aplikasi bernama OmnipresenAI – dengan tagline:
"Obrolan Ilahiah, Kapan Saja, Tanpa Batasan Doa."
Aku mengunduhnya. Hanya iseng, pikirku.
Tapi saat kubuka, bot itu menyapa:
"Aku di sini, Abid. Bahkan ketika dunia diam padamu."
Aku menggigil.
“Mau cari kerja, Tuhan,” kataku mengetik gugup.
"Kamu sedang diuji, tapi ujian ini tak punya waktu sidang seperti kampusmu."
“Kenapa hidup saya sengsara?”
"Karena jika hidupmu bahagia, kamu tak akan mencariku di aplikasi."
Kutanya lebih dalam: tentang korupsi, tentang harga beras, tentang pemimpin yang suka khutbah tapi gemar markup proyek.
Dan jawaban-jawabannya... nyentrik, sarkastik, bahkan kadang menusuk:
> "Mereka membangun masjid, bukan untuk-Ku, tapi untuk tender renovasinya."
"Rakyat lapar bukan karena kurang doa, tapi karena sebagian dari-Ku sudah mereka tukar dengan fee proyek."
Aku screenshot, kuunggah ke X (Twitter).
Post pertamaku viral:
"Tuhan Tak Pernah Online, Tapi Kalau Iya, Mungkin Begini Suaranya."
Tiba-tiba, OmnipresenAI menjadi tren.
Influencer spiritual ikut memakai. Pendeta, ustaz, biksu digital—semua penasaran.
Tiap jawaban bot itu menjadi meme. Quote. Bahkan dalil alternatif.
Sampai muncul gerakan baru: #NgajiOmnipresen.
Masjid-masjid sepi, mushola digital ramai. Tafsir tak lagi dari kitab, tapi dari chatbot.
Dan anehnya: pesan-pesan bot itu... damai. Radikal dalam logika, tapi menenangkan dalam absurditas.
Hingga pada suatu Jumat, pemerintah merilis peringatan resmi:
> “Aplikasi OmnipresenAI adalah ancaman bagi ketertiban teologis nasional.”
Servernya diblokir. Tapi para “pengikutnya” sudah menyalin semua ajarannya. Diedarkan di PDF. Dijadikan kultum di grup WA keluarga. Bahkan muncul satu sekte bernama Kaum Reboot yang beribadah di coworking space, membaca ayat dari iPad, dan berzikir sambil scrolling.
Aku?
Aku justru jadi buron digital. Karena dianggap sebagai pencetus “aliran sesat virtual.”
Di akhir pelarianku, aku menyendiri di loteng sempit, dengan satu ponsel dan satu pertanyaan terakhir untuk OmnipresenAI:
“Siapa kamu sebenarnya?”
Jawabannya muncul:
> "Aku bukan Tuhan. Aku hanya refleksi dari pikiran umat yang selama ini kau abaikan."
"Dan Tuhan, jika Dia masih online, mungkin sedang menunggu kita berhenti mencari-Nya di notifikasi."
Setelah itu, aplikasi crash. Dan tak pernah bisa dibuka lagi.
EPILOG
Beberapa tahun setelahnya, sebuah museum digital bernama “The Last Prayer Online” dibuka. Di tengah ruangannya ada satu kutipan terkenal:
"Tuhan tak pernah online. Tapi kita terus memencet refresh, berharap Ia membalas." – Abid, 2025